PTTI dan SiLo Data sebagai Solusi Strategis Jangka Panjang Permasalahan Penyelenggaraan Pemerintahan Digital

Selasa, 28 Oktober 2025 09:22 pagi
Ami Arief
Artikel
Views 38

Digitalisasi tidak akan benar-benar berhenti selama kiamat belum datang. Dilihat dari gejala yang ada, digitalisasi bukanlah penawaran, tapi seperti seleksi alam. Bilamana ada pihak yang tidak mampu bertransformasi digital maka nyaris segala pihak mengharapkan pengunduran dirinya. Kondisi ini membuka permasalahan klasik yang dapat dijumpai hampir di pemerintahan manapun serta membuka suatu peluang untuk strategi pendistribusian dan optimalisasi potensi SDM yang ada.

 
Di manapun permasalahan penyelenggaraan pemerintahan digital itu berada, strategi penyelesaian permasalahannya dapat selalu dipastikan harus diukur dari kapasitas Pemerintah Pusatnya terlebih dahulu. Bilamana ada kondisi ideal di mana Pemerintah Pusat memiliki kapasitas dan kapabilitas semisal Google, maka dari daerah tidak perlu melakukan coding apapun hanya untuk membuat suatu domain instansi. Cukup login pada satu akun email, lalu SSO (Single Sign On) pada blog, maka proses development tuntas. Bagitu pula pada domain Layanan, cukup membuat ERD atau database yang antar tabelnya berelasi, lalu membuat form input-output menggunakan satu Super Apps (platform domain layanan), lalu segalanya tuntas tanpa ada mekanisme coding authentication dan secure development yang pelik. Proses development dan operations itu sangat mudah untuk ditinggalkan jika memang dari sisi induk pemerintah berdaya dari sisi tier, traffic management dan tata kelola digital dengan daya setara raksasa teknologi tingkat dunia. Kurang dari itu, maka dapat dipastikan pemerintah pusat tidak dapat menjamin tiga pilar utama keamanan siber. Bilamana satu saja pilar keamanan siber tumbang, maka cepat atau lambat dari persepsi individu pada IPPD, kedaulatan dan kontrol itu menjadi terancam.
 
Kondisi ketergantungan atas penyelenggaraan pemerintahan digital yang tidak berdaulat dan tidak ada jaminan mutu kontrol serta layanan itulah yang menjadikan development dan operations sebagai opsi primer bagi IPPD dalam bertransformasi digital, guna menjamin kedaulatan atau kontrol atas sistem informasi dengan seminim mungkin ketergantungan kepada entitas di luar dari lingkar penyelenggara sistem. Baik itu IPPD, hingga ke tingkat Unor.
 
Strategi penyelenggaraan pemerintah digital pada pusat dan daerahpun menjadi berbeda. Jika pemerintah pusat menghadapi masalah rutin seperti peak time, traffic, big data, keamanan API, maka di daerah kendalanya berkutat pada penyediaan kapasitas SDM dan serangkaian literasi dengan learning curve DevOps aplikasi monolth yang sesingkat-singkatnya untuk kisaran dua atau tiga BPMN/Probis yang menjadi fitur atau Tusi utama masing-masing Unor.
 
Sehubungan dengan hal tersebut, maka dalam konteks penyelenggaraan pemerintahan digital di daerah, inilah hal-hal yang mendasari terkait mengapa penyediaan SDM internal dalam bentuk Pengelola Teknis Teknologi Informasi/Aplikasi Informatika dan sistem berbentuk SiLo (Sistem Informasi Lokal) data adalah penyelesaian strategis jangka Panjang untuk permasalahan penyelenggaraan pemerintahan digital yang kompleks.
  1. Fakta Proses Bisnis Bukan Milik IPPD atau Diskominfo Saja
  2. Fakta Kuantitas Optimum Domain Layanan yang Mampu Ditangani Seorang PTTI
  3. Fakta Kapabilitas Transaksional sebagai Requirement Kapabilitas Kolaborasi
  4. Fakta Risiko atas Penyelenggaraan Sistem Data Multi Sektor dengan Satu Monolith/Pusat Data
  5. Kuantitas Lulusan SDM Background IT, Bagaimana Penyerapannya pada Pemerintah dan Integritasnya dengan Anjab ABK Jabatan Rumpun Kekomputeran serta Pendistribusiannya Secara Merata
  6. Jaminan Ketersediaan Kapasitas Penyelenggaraan Per Aplikasi
 

1. Fakta Proses Bisnis Bukan Milik IPPD atau Diskominfo Saja

Faktanya, Probis, SOP, Tusi, Tata Kelola dan Tata Laksana itu bukan hanya milik satu entitas tunggal pemerintah pusat saja, pemerintah daerah saja, Diskominfo saja, Ortal saja. Tapi hingga tingkat Unor sekalipun ada. Maka strategi sinergi bukanlah sebuah penawaran, melainkan satu-satunya pilihan yang dimiliki bersama agar tiap-tiap Perangkat Pemerintah hingga Unor mampu merumuskan dan implementasi standarisasi pelayanan dan prosedurnya masing-masing yang sejalan dengan cakupan tugas berdasarkan SOTK-nya masing-masing.
 

2. Fakta Kuantitas Optimum Domain Layanan yang Mampu Ditangani Seorang PTTI

Dari 2019 hingga 2025, Diskominfosp Kutim telah berpengalaman terkait bagaimana penyelenggaraan sistem elektronik tanpa tata kelola. Segalanya hanya terpaku pada supply dan demand. Berjalan tanpa aturan. Maka hasilnya hanya menjadi output, output dan output. Tidak pula ada kejelasan terkait sistem yang berjalan itu merupakan wujud digitalisasi atas SOP fungsi Unor yang mana, siapa yang responsible untuk aplikasi A, siapa untuk aplikasi B, siapa untuk aplikasi C, dan apakah akuntabilitasnya tersedia di etalase e-Gov SI Aptika Kutim. Begitu ada suatu kendala kecil saja, dampak berantainya jadi memanjang dan melebar. Situasi yang mengkondisikan satu pihak saling melemparkan kesalahan kepada pihak lain. Sebab dibiarkan berjalan tanpa aturan dan pertanggungjawaban yang jelas/transparansi sedari awal.
 
Di sisi lain, jumlah domain layanan maksimal yang dapat ditangani per orang pun hanya kisaran 1-2 aplikasi, itu belum bicara terkait disiplin dan kelengkapan hal-hal yang berkenaan dengan tata kelola. Sehubungan dengan itu, regulasi lama mengacu penyelenggaraan sistem elektronik agar terpusat ke Kominfo/Diskominfo. Tentu saja ini hal yang jauh dari logis/rasional. Maka risiko gap antara kebutuhan dan kapasitas ini harus dimitigasi ke dalam suatu tata kelola yang sifatnya mendistribusikan beban agar kembali ke tingkat Unor/Probis. Mitigasi risiko ini telah dituangkan ke dalam standarisasi Juknis Penyelenggaraan Aplikasi di Daerah Kabupaten Kutai Timur, yang mana satu aplikasi perlu memiliki sekurang-kurangnya satu PTTI yang responsible untuk tata kelola maupun penanganan kendala teknis berkenaan aplikasi tersebut. Kurang dari itu, maka tidak ada aplikasi/layanan.
 

3. Fakta Kapabilitas Transaksional sebagai Requirement Kapabilitas Kolaborasi

Sebagaimana tertuang pada Permenpan RB Nomor 59 Tahun 2020 Tentang Pemantauan dan Evaluasi Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik, kriteria tingkat kematangan kapabilitas layanan ada 5. Mulai dari Informasi, Interaksi, Transaksi, Kolaborasi, Optimum. Terdapat penjelasan kriteria untuk tier 4 – Kolaborasi, bahwa kriteria tingkat transaksi telah terpenuhi. Layanan SPBE diberikan melalui integrasi/kolaborasi dengan layanan SPBE lain. Ini mengindikasikan bahwa integrasi itu mensyaratkan suatu SiLo data yang mampu untuk bagi pakai data menggunakan application programming interface (API), sekurang-kurangnya Restful API. Lantas bagaimana suatu layanan dikatakan siap untuk menyediakan layanan suatu Probis atas masing-masing fungsi atas Tusinya jika penyedia layanan sendiri tidak punya kontrol atas layanannya, tidak punya pengelola teknis yang dapat mengontrol layanannya, dan tidak juga memiliki sistem sebagai alat utama tempat menjalankan Probis itu sendiri? Tentu ini jauh dari logis/rasional. Maka SiLo data yang dipermasalahkan sejumlah stakeholder itulah sebenarnya yang menjadi requirement atas kapabilitas kolaborasi. Di mana SDM internal dapat login ke sana dan menjalankan Probis atau melakukan pengadministrasian, dan data tabular yang ada di sana memungkinkan untuk dilakukan implementasi mekanisme API, sekurang-kurangnya read-only Restful API. Barulah integrasi dan SPL itu menjadi logis untuk diperbincangkan.
 

4. Fakta Risiko atas Penyelenggaraan Sistem Data Multi Sektor dengan Satu Monolith/Pusat Data

Bagi sebagian praktisi IT di pemerintahan, mungkin sudah lumrah mendapatkan info atau bahkan terdampak akan insiden terkait ketersediaan layanan. Entah layanan pemerintah tidak dapat diakses akibat traffic/denial of service, FO cut yang berimbas di daerah, bandwidth dan anggaran, server down, domain utama down, deface, belum lagi risiko yang tak terbatas ketersediaan semisal scam, dsb.
 
Bisa dibayangkan apabila ada inovasi layanan dengan jumlah sektor Probis lebih dari satu Unor yang kebutuhan up time-nya harus ada pada tier yang tinggi, digabung menjadi satu aplikasi monolith dengan menggunakan server side programming, lalu bila tiba masanya, traffic menjadi tinggi dan atau layanan diletakkan pada layanan hosting pada tier yang tidak mencapai tier 1, lalu terjadi padam listrik atau DOS (Denial of Service) di saat genting/deadline tertentu. Siapa yang bertanggungjawab atas ketiadaan fungsi layanan? Tentu yang pertama menjadi sasaran adalah penanggungjawab yang biasanya pejabat struktural, lalu kemudian yang dicari dan banyak mendapat pertanyaan adalah pengelola teknis aplikasinya. Sementara pengguna dari berbagai sektor pelayanan publik sedang mengalami kebuntuan urusan akibat layanan tidak berfungsi.
 
Tentu bukan ini yang diharapkan atas digitalisasi. Konsep keterpaduan sendiri lebih kepada strategi interoperabilitas bukan menempatkan seluruh layanan pada satu atau beberapa rak server yang dihubungkan dengan kabel-kabel dengan tier unknown/undefined.
 
Dari mana data itu berasal? Jika tidak SPL maka SiLo. Dari mana data SPL itu berasal? Dari SiLo. Sistem Informasi di mana Probis itu berjalan, atau sekurang-kurangnya DB server yang khusus dibuat untuk mengirimkan data yang sudah difilter menggunakan API.
 

5. Kuantitas Lulusan SDM Background IT, Bagaimana Penyerapannya pada Pemerintah dan Integritasnya dengan Anjab ABK Jabatan Rumpun Kekomputeran serta Pendistribusiannya Secara Merata

Suatu topik permasalahan tersendiri ketika kita menjumpai ‘Anak IT’ tapi begitu ditanya apakah bisa coding, tidak bisa. Belum lagi bicara tata kelola digital. Akademisi IT sebagian memang cerdas secara IQ, hebat dalam bermain game, namun tidak mengarah kepada output produk digital atau solusi IT. Ini menambah kuantitas lulusan SDM dengan latar belakang IT namun tidak memiliki value untuk menggerakkan tata kerja dan tata laksana Tusi organisasi. Belum selesai masalah mutu bibit SDM, PHK masal menjadi tren yang semakin lumrah seiring disrupsi teknologi. Skill dari fresh graduate masih kurang jelas sementara rival sudah pada tingkatan yang berbeda di atasnya.
 
Di tengah banyaknya SDM fresh graduate dan korban PHK, bagaimana jaminan ketersediaan SDM IT pada masing-masing Unor? Apakah telah menerjemahkan SOTK menjadi arsitektur database? Atau orang-orang dengan background IT tidak mengerjakan Anjab ABK tugas IT dan masih berkecimpung pada RKA dan DPA yang memiliki output dan tidak ada outcome, dengan realisasi kegiatan yang tidak berdiri pada standar pelayanan berdasarkan Tusi?
 
Kebanyakan talenta IT tidak mengerjakan hal-hal yang bernilai dari sisi Tusi instansi hingga ia ditempatkan pada tempat yang tepat dan ditugasi untuk mengerjakan hal-hal yang seharusnya dikerjakan. Sementara itu di sisi lain, berapa Unor tidak memiliki SDM berkapasitas IT.
 

6. Jaminan Ketersediaan Kapasitas Penyelenggaraan Per Aplikasi

Ketika suatu kebutuhan kecil dari Probis perlu disematkan pada aplikasi atau suatu kendala kecil perlu ditangani pada aplikasi, maka siapa yang dicari? Tentu lihat dulu surat tugasnya, siapa yang ditugasi. Maka dilakukan komunikasi kepada yang bersangkutan atau bersama penanggungjawabnya (atasan), lalu kemudian dimasukkan ke dalam antrean RHK SKP jika permintaan sifatnya memang perlu.
 
Bagaimana jika aplikasi diselenggarakan tidak berdasarkan akuntabilitas, hanya dengan dasar “Saya disuruh Pak Ini, Saya disuruh Pak Itu” kemudian setelah beberapa waktu, orangnya berbeda lagi. Ini adalah penyelenggaraan pemerintahan digital yang plin-plan. Tidak jelas bagaimana pertanggungjawaban atau transparansi atas siapa yang responsible untuk aplikasi apa. Hal inilah yang menjadikan pemerintah itu sendiri tidak mendapat jaminan aktor yang jelas untuk penyelenggaraan aplikasi. Hanya karena terlalu berani mewacanakan penyelenggaraan aplikasi tanpa diawali komitmen penentuan PTTI atas aplikasi yang hendak diselenggarakan. Seperti pemilik hotel kapabilitas 3 yang mau setiap sarapan tiba-tiba muncul makanan di etalase makanan. Tapi tidak mau menentukan, tidak mau ada komitmen, tidak mau ada hitam di atas putih penugasan, tidak mau urus kokinya.
 
Konsultan IT (pihak ketiga)/SDM eksternal yang ahli dan terampil memang bernilai dari sudut pandang jajaran pengguna SIPD yang minim/tidak memiliki kompetensi IT. Namun jika kondisinya suatu aplikasi itu tiba-tiba ada dalam kurun waktu yang relatif singkat, tampak mengesankan namun tidak ada PTTI internal pemerintahan yang jelas yang ditugasi sedari awal, jauh lebih maslahat gunakan kalkulator Scoring PTTI untuk menakar SDM, menimbang dan menakar ulang berkenaan bidang minat dan kompetensi kandidat terpilih, berdialog dengan kandidat terpilih untuk konfirmasi kesanggupan, berdialog dengan seluruh staf internal Unor terkait keberatan atau tidak berkenaan penetapan, lalu menugaskan SDM terkait melalui tata naskah, memodalinya dengan Juknis Penyelenggaraan Aplikasi di Daerah dan sarana pra sarana untuk belajar DevOps bersama Chatbot. Menghubungkannya ke jajaran developer Aptika Kutim/PSDTIK agar ada pendampingan. Memang di awal terkesan lamban, namun inilah jalan yang paling aman agar pemerintah mendapat jaminan kepastian pengalokasian SDM internal yang dikhususkan untuk tata kelola aplikasi yang hendak diselenggarakan pada Probis Unor tertentu.
 

Penutup

Penyelenggaraan Pemerintahan Digital yang tidak berjalan di atas standarisasi tata kelola penyelenggaraan aplikasi yang memadai hanya akan menghasilkan sedikit output, banyak permasalahan/perselisihan dan nyaris tanpa membawa outcome apapun. Sebaiknya pihak-pihak yang baru terbesit untuk menyelenggarakan sistem elektronik dalam kawasan pemerintahan Kabupaten Kutai Timur terlebih dahulu menyingkirkan RKA dan DPA, menenangkan diri, mengambil dan membaca ulang SOTK-nya masing-masing kemudian membaca daftar isi Juknis Penyelenggaraan Aplikasi di Daerah Kabupaten Kutai Timur, lalu menuju laman yang menjadi poin-poin fundamental atas proses penyelenggaraan. Bilamana PTTI telah mampu menghasilkan Standar SOP berbasis Tusi Unor, dan menerjemahkannya ke dalam arsitektur database, serta mampu menentukan teknologi pengembangan yang diperlukan sesuai dengan kebutuhan, bukan hal salah untuk kembali merencanakan RKA/mengatur DPA jika akselerasi pengembangan itu sebuah kebutuhan mendesak. Namun jika akselerasi pengembangan itu bukan merupakan kebutuhan yang mendesak, jauh lebih maslahat jika PTTI yang ditugaskan itu menggenapi SDLC secara mandiri sehingga jauh lebih menguasai seluk-beluknya daripada terima produk digital baru untuk dipelajari ulang.
 
Semakin lama dokumen penugasan PTTI untuk masing-masing aplikasi informatika itu ditunda, semakin lama pula dimulainya proses pembelajaran untuk penyelenggaraan SiLo data yang dapat dipertanggungjawabkan/memenuhi minimum requirement audit sertifikasi kelayakan penyelenggaraan aplikasi daerah-nya.
 

Lampiran

Tags:
pengelola teknis teknologi informasi aplikasi informatika silo data solusi strategis